Batas Wilayah Negara
I. Wilayah Negara
Wilayah negara adalah daerah atau lingkungan yang menunjukkan
batas-batas suatu negara, dimana dalam wilayah tersebut negara yang
bersangkutan dapat melaksanakan kekuasaannya, sehingga menjadi tempat
berlindung bagi rakyat sekaligus sebagai tempat untuk mengorganisir dan
penyelenggaraan pemerintahannya. Wilayah yang menurut hukum
internasional diakui sebagai wilayah kekuasaan suatu negara, walaupun
sebetulnya wilayah itu secara nyata berada di wilayah negara lain.
Misalnya, wilayah kedutaan besar negara asing yang terdapat di ibu kota
suatu negara.
Menurut UU No. 43 tahun 2008, yang dimaksud dengan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah salah satu unsur negara yang
merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan
kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah dibawahnya,
serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang ada
di dalamnya. Luas wilayah negara ditentukan oleh perbatasannya di dalam
batas-batas itu negara menjalankan yurisdiksi teritorial atas orang dan
benda yang berada dalam wilayah itu, kecuali beberapa golongan orang dan
benda yang dibebaskan dari yurisdiksi.
Wilayah negara secara umum dapat dibedakan atas wilayah daratan, wilayah udara, dan wilayah ekstrateritorial.
1. Wilayah daratan, wilayah daratan tidak sepenuhnya dapat dimilliki
sendiri oleh suatu negara. Perbatasan wilayah suatu negara umumnya
disepakati melalui suatu perjanjian antarnegara (perjanjian
internasional). Perjanjian tersebut dapat berbentuk bilateral apabila
hanya menyangkut kepentingan dua negara, dan dapat pla berbentuk
multilateral jika perbatasan dengan negara lain melibatkan itu
melibatkan lebih dari dua negara. Sebagai batasnya biasanya ditentukan
ciri-ciri alamiah seperti gunung dan sungai. Kadang-kadang batas
“buatan” harus dibangun, misalnya dalam bentuk tembok pembatas.
Batas wilayah suatu negara dengan negara lain di darat dapat berwujud :
o Batas alamiah, yaitu batas suatu negara lain yang terjadi secara alamiah, misalnya dalam bentuk pegunungan, sungai, dan hutan.
o Batas buatan, yaitu batas suatu negara dengan negara lain yang sengaja
dibuat oleh manusia dalam bentuk pagar tembok, kawat berduri, dan pos
penjagaan.
o Batas secara geografis, yaitu batas wilayah suatu negara dengan negara
lain yang dapat ditentukan berdasarkan letak geografis yang melalui
garis lintang dan garis bujur.
2. Wilayah lautan, sebagaimana wilayah daratan, wilayah laut pun
memiliki batas-batasnya. Pada mulanya ada dua konsep dasar mengenai
wilayah lautan yaitu sebagai berikut:
Ø Res nullius, yaitu konsepsi yang menyatakan bahwa laut dapat diambil dan dimiliki oleh setiap negara.
Ø Res communis,yaitu konsepsi yang beranggapan bahwa laut adalah milik
masyarakat dunia, sehingga tidak dapat diambil atau dimiliki setiap
negara.
Saat ini, wilayah laut yang masuk dalam wilayah negara tertentu disebut
perairan wilayah atau laut teritorial. Diluar wilayah laut merupakan
laut bebas atau perairan internasional (mare liberum). Pada tanggal 10
Desember 1982, PBB (UNCLOS) menyelenggarakan konferensi Hukum Laut
Internasional III di Jamaika, hasil konferensi ini ditandatangani oleh
119 peserta. Konferensi ini menetapkan bahwa wilayah laut terdiri atas
hal-hal sebagai berikut.
§ Laut teritorial, yaitu wilayah yang menjadi hak kedaulatan suatu negara dilaut.
§ Zona bersebelahan, yaitu wilayah laut yang lebarnya 12 mil dari laut teritorial suatu Negara
§ Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yaitu wilayah laut suatu negara yang
lebarnya 200 mil ke laut bebas. Di zona ini, negara pantai berhak
menggali dan mengolah segala kekayaan alam untuk kegiaan ekonomi
eksklusif negara tersebut.
§ Landas kontinen, yaitu daratan dibawah permukaaan laut diluar laut teritorial dengan kedalam 200 m atau lebih..
§ Landas benua, yaitu wilayah laut suatu negara yang lebarnya lebih dari 200 mil laut.
3. Wilayah udara, dalam Konvensi Paris (1949) dinyatakan bahwa
negara-negara merdeka dan berdaulat berhak mengadakan eksplorasi dan
eksploitasi di wilayah udaranya, misalnya untuk kepentingan rasio,
satelit, dan penerbangan.
Ada dua teori tentang konsepsi wilayah udara yang dikenal saat ini sebagai berikut:
i. Teori Udara bebas (Air Freedom Teory), tebagi dalam dua aliran, yaitu
Aliran Kebebasan Ruang Udara tanpa Batas, aliran ini berpendapat bahwa
ruang udara itu dapat digunakan siapapun, tidak ada negara yang
mempunyai hak dan kedaulatan diruang udara, kemudian Aliran Kebebasan
Udara Terbatas,yang berpendapat bahwa setiap negara berhak mengambil
tindakan tertentu untuk memelihara keamanan dan keselamatannya dan
negara kolong (negara bawah, subjacent state) hanya mempunyai hak
terhadap wilayah/zona teritorial.
ii. Teori Negara Berdaulat di Udara (The Air Souereignty), dibagi tiga
yaitu : Teori Keamanan,teori ini menyatakan bahwa suatu negara mempunyai
kedaulatan atas wilayah udarana sampai batas yang diperlukan untuk
menjaga keamanan negara itu. Selanjutnya Teori Pengawasan Cooper, yang
menyatakan bahwa kedaulatan negara ditentukan oleh kemampuan negara yang
bersangkutan untuk mengatasi ruang udara yang ada diatas wilayahnya
secara fisik dan ilmiah. Kemudian Teori Udara Schacter, yang menyatakan
bahwa wilayah udara harus sampai suatu ketinggian, dimana udara masih
cukup mampu mengangkat (mengapungkan) balon dan pesawat negara.
4. Wilayah Ekstrateritorial, yaitu wilayah suatu negara yang berada di
luar wilayah negara itu. Dengan kata lain, wilayah negara tersebut
berada di wilayah negara lain atau diluar wilayah teritorial suatu
negara. Contoh untuk ini adalah kantor kedutaan besar suatu negara di
negara lain atau kapal asing yang berlayar dilaut bebas dengan bendera
suatu Negara.
II. Batas – Batas Wilayah
Batas-batas wilayah negara adalah manifestasi kedaulatan teritorial suatu negara.
Batas-batas wilayah ini ditentukan oleh proses sejarah, politik, dan
hubungan antar negara, yang dikulminasikan ke dalam aturan atau
ketentuan hukum nasional maupun hokum internasional. Penanganan masalah
dan pengelolaan perbatasan sangat penting saat ini untuk digunakan bagi
berbagai kepentingan dan keperluan, baik oleh pemerintah maupun
masyarakat. Untuk itu diperlukan strategi yang tepat untuk melakukan
pengelolaan wilayah perbatasan nasional Indonesia.
Penentuan batas-batas ilayah daratan dalam sejarahnya masih menggunakan
batsa-batas alamiah contoh: deretan puncak-puncak gunung, sungai. Namun
seiring perkembangan teknologi maka batas alamiah tersebut tidak memadai
lagi sehingga menimbulkan sengketa. Saat ini penentuan batas wilayah
diukur menggunakan teknologi modern sehingga lebih tepat dan pasti.
Secara teknis ditetapkan dengan pemasangan patok-patok maupun tugu
sebagai penanda. Sedangkan batas laut kini telah diatur di dalam
Konvensi Hukum Laut PBB 1982, khususnya dalam Bab II yang terinci
menjadi: Batas Laut Teritorial, Batas Zona Bersebelahan, Batas Zona
Bersebelahan, Batas Zona Ekonomi Ekslusif(ZEE). Menurut pasal 3, setiap
negara (pantai) berhak menetapkan lebar laut teritorialnya hingga pada
suatu batas yang tidak melebihi dari 12 mil laut diukur dari garis
pangkal seperti yang ditentukan dalam konvensi ini. Sedangkan untuk
batas udara, masih belum ada kesepakatan di forum internasional mengenai
kedaulatan di ruang udara.
Ketika berbicara masalah perbatasan Indonesia maka hal tersebut tidak
dapat dilepaskan dari konsep kepentingan nasional (national interest).
Pada hakekatnya kepentingan nasional Indonesia adalah menjamin
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang berada di dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Karena, itu sangat penting menjamin tetap tegaknya NKRI yang memiliki
wilayah yurisdiksi nasional dari Sabang samapai Merauke. Posisi
geostrategis yang dimiliki oleh Indonesia, secara tidak disadari
merupakan kekuatan diplomasi Indonesia di dunia Internasional. Berbagai
negara khususnya negara-negara besar memiliki kepentingan terhadap
kondisi stabilitas keamanan di Indonesia. Implikasi dari kepentingan
negara lain tersebut menimbulkan kecenderungan campur tangan atau
kepedulian yang tinggi dari negara-negara tersebut terhadap kemungkinan
gangguan stabilitas keamanan Indonesia. Keadaan seperti inilah yang
dapat membuat terjadinya konflik kepentingan dan mungkin meluas menjadi
perang.
Konflik bersenjata (perang) dapat disebabkan oleh beberapa faktor dan
keterkaitan diantara faktor-faktor tersebut. Dalam pandangan idealis,
perang terjadi dikarenakan adanya senjata (arms) sehingga menyebabkan
adanya ketegangan (tension) yang pada akhirnya membawa semuanya ke dalam
perang (war). Sedangkan menurut pandangan Realis justru Tension lah
penyebab masing-masing pihak memiliki senjata yang memicu arms race dan
dapat berujung pada perang. Sedangkan pendekatan terakhir yang dapat
dipakai adalah bahwa ketiga faktor tersebut (arms, tension, war)
memiliki hubungan saling mempengaruhi satu-sama lain.
Dimensi keamanan dari suatu negara dapat pula dipandang dari segi
keamanan militer dan non-militer serta dalam tingkat analisis tertentu
(individu, negara, kawasan bahkan Internasional). Dalam dimensi tersebut
ada pula keterkaitan satu sama lain yang saling mempengaruhi dalam
menentukan keamanan suatu negara. Demikian pula halnya dengan isu
keamanan, ancaman yang berasal dari luar dan ancaman yang timbul di
dalam negeri selalu memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi,
sehingga sulit untuk dapat dipisahkan. Perbedaan hanya mungkin dilakukan
dalam konteks bentuk dan organisasi ancaman, sementara perbedaan
berdasarkan sumber timbulnya ancaman, sangat sulit ditentukan. Berangkat
dari kenyataan tersebut, upaya pertahanan tidak hanya mengacu pada isu
keamanan tradisional, yakni kemungkinan invasi atau agresi dari negara
lain, tetapi juga pada isu keamanan non-tradisional, yaitu setiap aksi
yang mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah, serta keselamatan
bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam melihat suatu permasalahan internasional terdapat pengelompokan
pendekatan kedalam 3 jenis, yaitu traditional-realis, non-traditional
liberalis, dan penggabungan atas 2 pendekatan tersebut. Pada
perkembangannya juga muncul apa yang disebut dengan neo-realis dimana
pendekatan ini memasukan unsur-unsur non-military issues yang juga
mengancam keamanan negara. dalam bab berikutnya akan dibahas mengenai
bagaimana masalah perbatasan Indonesia dilihat melalui dimensi-dimensi
diatas serta pendekatan apakah yang cocok untuk melihat permasalahan
tersebut. Mempertahankan teritorial atau batas negara merupakan salah
satu bentuk dari kepentingan nasional suatu negara termasuk Indonesia,
karena hal ini sudah berkaitan dengan kedaulatan ”sovereignty” yang
dapat menadi ancaman bagi survival negara tersebut.
Dalam konteks hubungan internasional, ada banyak kasus dimana konflik
antar negara yang berawal dari belum terselesaikannya berbagai persoalan
batas negara. Hubungan internasional memusatkan perhatiannya pada studi
mengenai pola-pola hubungan antar aktor negara yang diikat oleh
batas-batas teritorial. Ruang teritorial ini kemudian akan menentukan
kedaulatan, power dan bahkan keamanan yang dimiliki suatu bangsa.
Untuk menjaga batas teritorial dan menagani isu perbatasan yang dialami
khususnya di Indonesia, diperlukan suatu kerjasama atau sinergi antara
militer dan non-militer dalam penjagaan keamanan. Masing-masing pihak
menjalankan tugasnya sesuai dengan kemampuannya namun dalam tujuan yang
sama dimana disamping menciptakan nation-state building tapi juga akan
mendorong terciptanya suatu regional security building. Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia memiliki batas-batas wilayah nasionalnya.
Jika berbicara mengenai penyelenggaraan negara dalam kaitan dengan
wilayah perbatasan, maka wilayah nasional yurisdiksi Indonesia harus
diatur dalam suatu ketentuan. Apabila negara – negara tidak mencapai
kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa – sengketa mereka secara
persahabatan, maka cara pemecahan yang mungkin adalah melalui cara
kekerasan. Prinsip – prinsip dengan cara penyelesaian adalah :
1. Perang dan tindakan senjata nonperang, tujuan dari perang adalah
untuk menaklukkan negara lawan dan untuk membebankan syarat – syarat
penyelesain sehingga negara yang ditaklukkan itu tidak memiliki
alternatif lain untuk mematuhinya.
2. Retorsi (retorsion) adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam
oleh suatu negara terhadap suatu negara karena diperlukan oleh tindakan –
tindakan yang tidak pantas atau tidak patut dari negara tersebut
3. Repraisals (tindakan pembalasan) adalah metode yang digunakan suatu
negara untuk memperoleh ganti rugi oleh negara lain dengan melakukan
tindakan – tindakan yang sifatnya pembalasan.
4. Pacific Blockade (Blokade secara damai) pada umumnya untuk memaksa
negara yang pelabuhan yang dibllokadde agar menaati permintaan ganti
kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade.
5. Intervensi (intervention) adalah tindakan campur tangan oleh suatu negara dalam urusan negara lain.
Dampak
Banyak titik perbatasan kosong tak terjaga. Celah itu dimanfaatkan betul
oleh negeri tetanggauntuk 'memberdayakan' kekayaan alam dan hutan
Indonesia yang terabaikan.
Solusi
Beberapa cara yang dapat dilakukan agar tak lagi terjadi sengketa wilayah:
1. Melakukan perjanjian yang jelas mengenai batas- batas negara.
2. Perlunya diadakan undang - undang tertentu antar kedua negara yang mengatur bataswilayah mereka
3. Menjaga,mengontrol,dan mengawasi batas- batas di wilayah masing- masing.
4. Menginformasikan kepada publik/masyarakat dan struktur pemerintahan yang terkaittentang batas- batas wilayah negara.
5. Mengatur hukum yang jelas mengenai tindakan- tindakan tertentu di batas- batas negara
Contoh sengketa batas wilayah
Konflik Perbatasan
Wilayah Indonesia dengan Singapura
Latar belakang
Republik Indonesia adalah negara kepulauan berwawasan nusantara,
terletak di Asia Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada
di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan
Samudra Hindia. Batas wilayah di laut harus mengacu pada UNCLOS (United
Nations Convension on the Law of the Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 82 yang
kemudian diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985. Salah satu persoalan
yang paling mendasar yang memicu konflik antar negara adalah masalah
perbatasan. Termasuk Indonesia yang mempunyai persoalan dengan
perbatasan, terutama mengenai garis perbatasan di wilayah perairan laut
dengan negara-negara tetangga. Indonesia dengan Singapura pun mempunyai
masalah dalam perbatasan negara baik maritim maupun pasir.
Masalah yang timbul dalam penetapan batas wilayah antara Indonesia
dengan Singapura adalah reklamasi pantai yang selalu dilakukan Singapura
sejak melepaskan diri dari Federasi Malaysia untuk memperluas
wilayahnya. Luas wilayah singapura pada awalnya adalah 580 km2, dan pada
tahun 2005 jumlahnya bertambah menjadi 699 km2. Hal itu menandakan luas
wilayah Singapura selama hampir 40 tahun bertambah 199 km2. Luas Selat
Singapura juga makin berkurang, tidak mencapai 24 mil laut yang sudah
menjadi ketetapan internasional. Sejumlah pihak mengkhawatirkan
reklamasi pantai yang dilakukan Singapura karena akan merubah wilayah
batas kedua negara yang sudah disetujui pada tahun 1973. Daratan
Singapura, menjadi maju 12 km dari original base line perjanjian
perbatasan sebelumnya. Pihak Indonesia juga khawatir dengan majunya
daratan Singapura, dikhawatirkan penetapan batas wilayah di Selat
Singapura juga akan berubah. Sebenarnya, jika kita merujuk pada Pasal 6
ayat 8 UNCLOS 1982 pihak Indonesia tidak perlu khawatir. Pasir yang
diambil kebanyakan berasal dari pulau-pulau di Kepulauan Riau.
Pelarangan ekspor pasir dari Riau ke Singapura sebenarnya telah
keluarkan oleh pemerintah Indonesia di tahun 2002, setelah
dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 2/2002. Pelarangan itu tidak
bertahan lama, karena penambangan pasir di Riau kembali dibuka setelah
DPR membentuk Tim Pengawasan Pasir Laut. Maret 2003, penambangan pasir
ini kembali ditutup oleh pemerintah setelah Menteri Perindustrian dan
Perdagangan, Rini Suwandi mengeluarkan Surat Keputusan Nomor
117/MPP/Kep/II/2003.
Revisi dari Traktat London ini membuat adanya perbatasan baru antara
Singapura yang saat itu masih tergabung dalam wilayah Malaysia dengan
Indonesia. Tidak hanya memunculkan perbatasan baru bagi Singapura dengan
Indonesia, namun juga merupakan awal terpisahnya Tanah Melayu dan
Indonesia secara politik. Setelah adanya Traktat London atau Treaty of
Commerce and Exchange Between Great Britain and Netherlands, membuat
Singapura menjadi semakin maju, banyak kapal-kapal internasional dan
domestik lebih memilih Singapura daripada Batavia karena banyak
kebutuhan yang dapat ditemukan di Singapura, ketimbang Batavia. Semenjak
itu Selat Singapura menjadi jalur lalu lintas perdagangan laut antara
India dengan Cina atau Asia Barat dengan Asia Tenggara dan Timur.
Masalah perbatasan kemudian menjadi semakin runyam setelah Singapura
melepaskan diri dari Federasi Malaysia tahun 1965. Pangkal masalahnya
adalah lebar Selat Singapura yang tidak mencapai 24 mil sebagai
persyaratan dari Konvensi Hukum Laut PBB. Konvensi Hukum Laut PBB ini
berisi batas wilayah teritorial laut suatu negara ditarik 12 mil laut
yang ditarik dari pangkal pulau terdepan suatu negara. Beberapa masalah
kemudian menjadi pengganjal untuk menetapkan daerah perbatasan
Indonesia-Singapura. Salah satu masalah besar itu adalah reklamasi
pantai yang dilakukan Singapura untuk memperluas wilayahnya.
Proses Penyelesaian
Untuk mengamankan kebijakan pemerintah dalam masalah wilayah perbatasan,
pemerintah mengeluarkan UU No. 1 tahun 1973 yang berisi tentang
Landasan Kontinen Indonesia, semua kekayaan yang ada di dalam Landasan
Kontinen Indonesia merupakan hak milik pemerintah Indonesia. Tidak hanya
itu, daerah perbatasan juga akan mulai diberdayakan, seperti Pulau
Batam yang berbatasan langsung dengan Singapura. Selat Singapura yang
lebarnya tidak terlalu luas, menjadi masalah tersendiri bagi UU nomor 1
tahun 1973. Singapura yang juga dikelilingi pulau-pulau kecil
disekitarnya dalam menarik garis batas perlu ketelitian agar tidak
mendapatkan protes dari pemerintah Singapura. Beberapa perundingan
dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini, kesepakatan pun terjadi pada
Mei 1973, dengan ditandatanganinya Garis Batas Laut Wilayah di Jakarta.
Untuk menetapkan garis awal perbatasan dan karena jarak Selat Singapura
yang sempit, maka akhirnya diambil keputusan untuk mengambil batas kedua
negara dari wilayah atau pulau terdepan masing-masing negara.
Disetujuinya Perjanjian Penetapan Perbatasan Indonesia – Singapura di
Bagian Barat Selat Singapura. Sebagai bentuk kelanjutan dari diplomasi
yang dilakukan pemerintah Indonesia dan Singapura, pada Maret 2009,
perjanjian batas laut antara kedua negara ditandatangani di Jakarta.
Pembicaraan tentang perjanjian ini sudah dilakukan sejak tahun 2005,
untuk menyelesaikan batas wilayah Indonesia-Singapura di bagian barat
Selat Singapura, antara perairan Tuas dan Nipah. Sementara untuk wilayah
tengah dan timur, masih dalam tahap penyelesaian, karena memerlukan
kajian yang lebih mendalam. Disetujuinya perjanjian batas laut ini,
diharapkan dapat mempertegas posisi Pulau Nipah sebagai titik dasar yang
digunakan dalam pengukuran batas maritim Republik Indonesia dengan
Singapura.
Dalam menetapkan perjanjian ini, pemerintah Indonesia menolak mengakui
wilayah reklamasi Singapura, dan menggunakan perjanjian tahun 1973
sebagai sumber. Menurut Pasal 60 Ayat 8 UNCLOS disebutkan bahwa, “pulau
buatan, instalasi, dan bangunan tidak mempunyai status pulau dan laut
teritorialnya sendiri, maka kehadirannya tidak memengaruhi penetapan
batas laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif, dan landasan kontinen.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar