Rabu, 07 Juni 2017

BATAS - BATAS WILAYAH NEGARA

Batas Wilayah Negara

I. Wilayah Negara

Wilayah negara adalah daerah atau lingkungan yang menunjukkan batas-batas suatu negara, dimana dalam wilayah tersebut negara yang bersangkutan dapat melaksanakan kekuasaannya, sehingga menjadi tempat berlindung bagi rakyat sekaligus sebagai tempat untuk mengorganisir dan penyelenggaraan pemerintahannya. Wilayah yang menurut hukum internasional diakui sebagai wilayah kekuasaan suatu negara, walaupun sebetulnya wilayah itu secara nyata berada di wilayah negara lain. Misalnya, wilayah kedutaan besar negara asing yang terdapat di ibu kota suatu negara.
Menurut UU No. 43 tahun 2008, yang dimaksud dengan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah dibawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang ada di dalamnya. Luas wilayah negara ditentukan oleh perbatasannya di dalam batas-batas itu negara menjalankan yurisdiksi teritorial atas orang dan benda yang berada dalam wilayah itu, kecuali beberapa golongan orang dan benda yang dibebaskan dari yurisdiksi.
Wilayah negara secara umum dapat dibedakan atas wilayah daratan, wilayah udara, dan wilayah ekstrateritorial.
1. Wilayah daratan, wilayah daratan tidak sepenuhnya dapat dimilliki sendiri oleh suatu negara. Perbatasan wilayah suatu negara umumnya disepakati melalui suatu perjanjian antarnegara (perjanjian internasional). Perjanjian tersebut dapat berbentuk bilateral apabila hanya menyangkut kepentingan dua negara, dan dapat pla berbentuk multilateral jika perbatasan dengan negara lain melibatkan itu melibatkan lebih dari dua negara. Sebagai batasnya biasanya ditentukan ciri-ciri alamiah seperti gunung dan sungai. Kadang-kadang batas “buatan” harus dibangun, misalnya dalam bentuk tembok pembatas.
Batas wilayah suatu negara dengan negara lain di darat dapat berwujud :
o Batas alamiah, yaitu batas suatu negara lain yang terjadi secara alamiah, misalnya dalam bentuk pegunungan, sungai, dan hutan.
o Batas buatan, yaitu batas suatu negara dengan negara lain yang sengaja dibuat oleh manusia dalam bentuk pagar tembok, kawat berduri, dan pos penjagaan.
o Batas secara geografis, yaitu batas wilayah suatu negara dengan negara lain yang dapat ditentukan berdasarkan letak geografis yang melalui garis lintang dan garis bujur.
2. Wilayah lautan, sebagaimana wilayah daratan, wilayah laut pun memiliki batas-batasnya. Pada mulanya ada dua konsep dasar mengenai wilayah lautan yaitu sebagai berikut:
Ø Res nullius, yaitu konsepsi yang menyatakan bahwa laut dapat diambil dan dimiliki oleh setiap negara.
Ø Res communis,yaitu konsepsi yang beranggapan bahwa laut adalah milik masyarakat dunia, sehingga tidak dapat diambil atau dimiliki setiap negara.
Saat ini, wilayah laut yang masuk dalam wilayah negara tertentu disebut perairan wilayah atau laut teritorial. Diluar wilayah laut merupakan laut bebas atau perairan internasional (mare liberum). Pada tanggal 10 Desember 1982, PBB (UNCLOS) menyelenggarakan konferensi Hukum Laut Internasional III di Jamaika, hasil konferensi ini ditandatangani oleh 119 peserta. Konferensi ini menetapkan bahwa wilayah laut terdiri atas hal-hal sebagai berikut.
§ Laut teritorial, yaitu wilayah yang menjadi hak kedaulatan suatu negara dilaut.
§ Zona bersebelahan, yaitu wilayah laut yang lebarnya 12 mil dari laut teritorial suatu Negara
§ Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yaitu wilayah laut suatu negara yang lebarnya 200 mil ke laut bebas. Di zona ini, negara pantai berhak menggali dan mengolah segala kekayaan alam untuk kegiaan ekonomi eksklusif negara tersebut.
§ Landas kontinen, yaitu daratan dibawah permukaaan laut diluar laut teritorial dengan kedalam 200 m atau lebih..
§ Landas benua, yaitu wilayah laut suatu negara yang lebarnya lebih dari 200 mil laut.
3. Wilayah udara, dalam Konvensi Paris (1949) dinyatakan bahwa negara-negara merdeka dan berdaulat berhak mengadakan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah udaranya, misalnya untuk kepentingan rasio, satelit, dan penerbangan.
Ada dua teori tentang konsepsi wilayah udara yang dikenal saat ini sebagai berikut:
i. Teori Udara bebas (Air Freedom Teory), tebagi dalam dua aliran, yaitu Aliran Kebebasan Ruang Udara tanpa Batas, aliran ini berpendapat bahwa ruang udara itu dapat digunakan siapapun, tidak ada negara yang mempunyai hak dan kedaulatan diruang udara, kemudian Aliran Kebebasan Udara Terbatas,yang berpendapat bahwa setiap negara berhak mengambil tindakan tertentu untuk memelihara keamanan dan keselamatannya dan negara kolong (negara bawah, subjacent state) hanya mempunyai hak terhadap wilayah/zona teritorial.
ii. Teori Negara Berdaulat di Udara (The Air Souereignty), dibagi tiga yaitu : Teori Keamanan,teori ini menyatakan bahwa suatu negara mempunyai kedaulatan atas wilayah udarana sampai batas yang diperlukan untuk menjaga keamanan negara itu. Selanjutnya Teori Pengawasan Cooper, yang menyatakan bahwa kedaulatan negara ditentukan oleh kemampuan negara yang bersangkutan untuk mengatasi ruang udara yang ada diatas wilayahnya secara fisik dan ilmiah. Kemudian Teori Udara Schacter, yang menyatakan bahwa wilayah udara harus sampai suatu ketinggian, dimana udara masih cukup mampu mengangkat (mengapungkan) balon dan pesawat negara.
4. Wilayah Ekstrateritorial, yaitu wilayah suatu negara yang berada di luar wilayah negara itu. Dengan kata lain, wilayah negara tersebut berada di wilayah negara lain atau diluar wilayah teritorial suatu negara. Contoh untuk ini adalah kantor kedutaan besar suatu negara di negara lain atau kapal asing yang berlayar dilaut bebas dengan bendera suatu Negara.

II. Batas – Batas Wilayah

Batas-batas wilayah negara adalah manifestasi kedaulatan teritorial suatu negara.
Batas-batas wilayah ini ditentukan oleh proses sejarah, politik, dan hubungan antar negara, yang dikulminasikan ke dalam aturan atau ketentuan hukum nasional maupun hokum internasional. Penanganan masalah dan pengelolaan perbatasan sangat penting saat ini untuk digunakan bagi berbagai kepentingan dan keperluan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Untuk itu diperlukan strategi yang tepat untuk melakukan pengelolaan wilayah perbatasan nasional Indonesia.
Penentuan batas-batas ilayah daratan dalam sejarahnya masih menggunakan batsa-batas alamiah contoh: deretan puncak-puncak gunung, sungai. Namun seiring perkembangan teknologi maka batas alamiah tersebut tidak memadai lagi sehingga menimbulkan sengketa. Saat ini penentuan batas wilayah diukur menggunakan teknologi modern sehingga lebih tepat dan pasti. Secara teknis ditetapkan dengan pemasangan patok-patok maupun tugu sebagai penanda. Sedangkan batas laut kini telah diatur di dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982, khususnya dalam Bab II yang terinci menjadi: Batas Laut Teritorial, Batas Zona Bersebelahan, Batas Zona Bersebelahan, Batas Zona Ekonomi Ekslusif(ZEE). Menurut pasal 3, setiap negara (pantai) berhak menetapkan lebar laut teritorialnya hingga pada suatu batas yang tidak melebihi dari 12 mil laut diukur dari garis pangkal seperti yang ditentukan dalam konvensi ini. Sedangkan untuk batas udara, masih belum ada kesepakatan di forum internasional mengenai kedaulatan di ruang udara.
Ketika berbicara masalah perbatasan Indonesia maka hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari konsep kepentingan nasional (national interest). Pada hakekatnya kepentingan nasional Indonesia adalah menjamin kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Karena, itu sangat penting menjamin tetap tegaknya NKRI yang memiliki wilayah yurisdiksi nasional dari Sabang samapai Merauke. Posisi geostrategis yang dimiliki oleh Indonesia, secara tidak disadari merupakan kekuatan diplomasi Indonesia di dunia Internasional. Berbagai negara khususnya negara-negara besar memiliki kepentingan terhadap kondisi stabilitas keamanan di Indonesia. Implikasi dari kepentingan negara lain tersebut menimbulkan kecenderungan campur tangan atau kepedulian yang tinggi dari negara-negara tersebut terhadap kemungkinan gangguan stabilitas keamanan Indonesia. Keadaan seperti inilah yang dapat membuat terjadinya konflik kepentingan dan mungkin meluas menjadi perang.
Konflik bersenjata (perang) dapat disebabkan oleh beberapa faktor dan keterkaitan diantara faktor-faktor tersebut. Dalam pandangan idealis, perang terjadi dikarenakan adanya senjata (arms) sehingga menyebabkan adanya ketegangan (tension) yang pada akhirnya membawa semuanya ke dalam perang (war). Sedangkan menurut pandangan Realis justru Tension lah penyebab masing-masing pihak memiliki senjata yang memicu arms race dan dapat berujung pada perang. Sedangkan pendekatan terakhir yang dapat dipakai adalah bahwa ketiga faktor tersebut (arms, tension, war) memiliki hubungan saling mempengaruhi satu-sama lain.
Dimensi keamanan dari suatu negara dapat pula dipandang dari segi keamanan militer dan non-militer serta dalam tingkat analisis tertentu (individu, negara, kawasan bahkan Internasional). Dalam dimensi tersebut ada pula keterkaitan satu sama lain yang saling mempengaruhi dalam menentukan keamanan suatu negara. Demikian pula halnya dengan isu keamanan, ancaman yang berasal dari luar dan ancaman yang timbul di dalam negeri selalu memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi, sehingga sulit untuk dapat dipisahkan. Perbedaan hanya mungkin dilakukan dalam konteks bentuk dan organisasi ancaman, sementara perbedaan berdasarkan sumber timbulnya ancaman, sangat sulit ditentukan. Berangkat dari kenyataan tersebut, upaya pertahanan tidak hanya mengacu pada isu keamanan tradisional, yakni kemungkinan invasi atau agresi dari negara lain, tetapi juga pada isu keamanan non-tradisional, yaitu setiap aksi yang mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah, serta keselamatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam melihat suatu permasalahan internasional terdapat pengelompokan pendekatan kedalam 3 jenis, yaitu traditional-realis, non-traditional liberalis, dan penggabungan atas 2 pendekatan tersebut. Pada perkembangannya juga muncul apa yang disebut dengan neo-realis dimana pendekatan ini memasukan unsur-unsur non-military issues yang juga mengancam keamanan negara. dalam bab berikutnya akan dibahas mengenai bagaimana masalah perbatasan Indonesia dilihat melalui dimensi-dimensi diatas serta pendekatan apakah yang cocok untuk melihat permasalahan tersebut. Mempertahankan teritorial atau batas negara merupakan salah satu bentuk dari kepentingan nasional suatu negara termasuk Indonesia, karena hal ini sudah berkaitan dengan kedaulatan ”sovereignty” yang dapat menadi ancaman bagi survival negara tersebut.
Dalam konteks hubungan internasional, ada banyak kasus dimana konflik antar negara yang berawal dari belum terselesaikannya berbagai persoalan batas negara. Hubungan internasional memusatkan perhatiannya pada studi mengenai pola-pola hubungan antar aktor negara yang diikat oleh batas-batas teritorial. Ruang teritorial ini kemudian akan menentukan kedaulatan, power dan bahkan keamanan yang dimiliki suatu bangsa.
Untuk menjaga batas teritorial dan menagani isu perbatasan yang dialami khususnya di Indonesia, diperlukan suatu kerjasama atau sinergi antara militer dan non-militer dalam penjagaan keamanan. Masing-masing pihak menjalankan tugasnya sesuai dengan kemampuannya namun dalam tujuan yang sama dimana disamping menciptakan nation-state building tapi juga akan mendorong terciptanya suatu regional security building. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki batas-batas wilayah nasionalnya. Jika berbicara mengenai penyelenggaraan negara dalam kaitan dengan wilayah perbatasan, maka wilayah nasional yurisdiksi Indonesia harus diatur dalam suatu ketentuan. Apabila negara – negara tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa – sengketa mereka secara persahabatan, maka cara pemecahan yang mungkin adalah melalui cara kekerasan. Prinsip – prinsip dengan cara penyelesaian adalah :
1. Perang dan tindakan senjata nonperang, tujuan dari perang adalah untuk menaklukkan negara lawan dan untuk membebankan syarat – syarat penyelesain sehingga negara yang ditaklukkan itu tidak memiliki alternatif lain untuk mematuhinya.
2. Retorsi (retorsion) adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap suatu negara karena diperlukan oleh tindakan – tindakan yang tidak pantas atau tidak patut dari negara tersebut
3. Repraisals (tindakan pembalasan) adalah metode yang digunakan suatu negara untuk memperoleh ganti rugi oleh negara lain dengan melakukan tindakan – tindakan yang sifatnya pembalasan.
4. Pacific Blockade (Blokade secara damai) pada umumnya untuk memaksa negara yang pelabuhan yang dibllokadde agar menaati permintaan ganti kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade.
5. Intervensi (intervention) adalah tindakan campur tangan oleh suatu negara dalam urusan negara lain.

Dampak

Banyak titik perbatasan kosong tak terjaga. Celah itu dimanfaatkan betul oleh negeri tetanggauntuk 'memberdayakan' kekayaan alam dan hutan Indonesia yang terabaikan.

Solusi

Beberapa cara yang dapat dilakukan agar tak lagi terjadi sengketa wilayah:
1. Melakukan perjanjian yang jelas mengenai batas- batas negara.
2. Perlunya diadakan undang - undang tertentu antar kedua negara yang mengatur bataswilayah mereka
3. Menjaga,mengontrol,dan mengawasi batas- batas di wilayah masing- masing.
4. Menginformasikan kepada publik/masyarakat dan struktur pemerintahan yang terkaittentang batas- batas wilayah negara.
5. Mengatur hukum yang jelas mengenai tindakan- tindakan tertentu di batas- batas negara

Contoh sengketa batas wilayah


Konflik Perbatasan
Wilayah Indonesia dengan Singapura

Latar belakang

Republik Indonesia adalah negara kepulauan berwawasan nusantara, terletak di Asia Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Batas wilayah di laut harus mengacu pada UNCLOS (United Nations Convension on the Law of the Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 82 yang kemudian diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985. Salah satu persoalan yang paling mendasar yang memicu konflik antar negara adalah masalah perbatasan. Termasuk Indonesia yang mempunyai persoalan dengan perbatasan, terutama mengenai garis perbatasan di wilayah perairan laut dengan negara-negara tetangga. Indonesia dengan Singapura pun mempunyai masalah dalam perbatasan negara baik maritim maupun pasir.
Masalah yang timbul dalam penetapan batas wilayah antara Indonesia dengan Singapura adalah reklamasi pantai yang selalu dilakukan Singapura sejak melepaskan diri dari Federasi Malaysia untuk memperluas wilayahnya. Luas wilayah singapura pada awalnya adalah 580 km2, dan pada tahun 2005 jumlahnya bertambah menjadi 699 km2. Hal itu menandakan luas wilayah Singapura selama hampir 40 tahun bertambah 199 km2. Luas Selat Singapura juga makin berkurang, tidak mencapai 24 mil laut yang sudah menjadi ketetapan internasional. Sejumlah pihak mengkhawatirkan reklamasi pantai yang dilakukan Singapura karena akan merubah wilayah batas kedua negara yang sudah disetujui pada tahun 1973. Daratan Singapura, menjadi maju 12 km dari original base line perjanjian perbatasan sebelumnya. Pihak Indonesia juga khawatir dengan majunya daratan Singapura, dikhawatirkan penetapan batas wilayah di Selat Singapura juga akan berubah. Sebenarnya, jika kita merujuk pada Pasal 6 ayat 8 UNCLOS 1982 pihak Indonesia tidak perlu khawatir. Pasir yang diambil kebanyakan berasal dari pulau-pulau di Kepulauan Riau. Pelarangan ekspor pasir dari Riau ke Singapura sebenarnya telah keluarkan oleh pemerintah Indonesia di tahun 2002, setelah dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 2/2002. Pelarangan itu tidak bertahan lama, karena penambangan pasir di Riau kembali dibuka setelah DPR membentuk Tim Pengawasan Pasir Laut. Maret 2003, penambangan pasir ini kembali ditutup oleh pemerintah setelah Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Rini Suwandi mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 117/MPP/Kep/II/2003.
Revisi dari Traktat London ini membuat adanya perbatasan baru antara Singapura yang saat itu masih tergabung dalam wilayah Malaysia dengan Indonesia. Tidak hanya memunculkan perbatasan baru bagi Singapura dengan Indonesia, namun juga merupakan awal terpisahnya Tanah Melayu dan Indonesia secara politik. Setelah adanya Traktat London atau Treaty of Commerce and Exchange Between Great Britain and Netherlands, membuat Singapura menjadi semakin maju, banyak kapal-kapal internasional dan domestik lebih memilih Singapura daripada Batavia karena banyak kebutuhan yang dapat ditemukan di Singapura, ketimbang Batavia. Semenjak itu Selat Singapura menjadi jalur lalu lintas perdagangan laut antara India dengan Cina atau Asia Barat dengan Asia Tenggara dan Timur. Masalah perbatasan kemudian menjadi semakin runyam setelah Singapura melepaskan diri dari Federasi Malaysia tahun 1965. Pangkal masalahnya adalah lebar Selat Singapura yang tidak mencapai 24 mil sebagai persyaratan dari Konvensi Hukum Laut PBB. Konvensi Hukum Laut PBB ini berisi batas wilayah teritorial laut suatu negara ditarik 12 mil laut yang ditarik dari pangkal pulau terdepan suatu negara. Beberapa masalah kemudian menjadi pengganjal untuk menetapkan daerah perbatasan Indonesia-Singapura. Salah satu masalah besar itu adalah reklamasi pantai yang dilakukan Singapura untuk memperluas wilayahnya.

Proses Penyelesaian

Untuk mengamankan kebijakan pemerintah dalam masalah wilayah perbatasan, pemerintah mengeluarkan UU No. 1 tahun 1973 yang berisi tentang Landasan Kontinen Indonesia, semua kekayaan yang ada di dalam Landasan Kontinen Indonesia merupakan hak milik pemerintah Indonesia. Tidak hanya itu, daerah perbatasan juga akan mulai diberdayakan, seperti Pulau Batam yang berbatasan langsung dengan Singapura. Selat Singapura yang lebarnya tidak terlalu luas, menjadi masalah tersendiri bagi UU nomor 1 tahun 1973. Singapura yang juga dikelilingi pulau-pulau kecil disekitarnya dalam menarik garis batas perlu ketelitian agar tidak mendapatkan protes dari pemerintah Singapura. Beberapa perundingan dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini, kesepakatan pun terjadi pada Mei 1973, dengan ditandatanganinya Garis Batas Laut Wilayah di Jakarta. Untuk menetapkan garis awal perbatasan dan karena jarak Selat Singapura yang sempit, maka akhirnya diambil keputusan untuk mengambil batas kedua negara dari wilayah atau pulau terdepan masing-masing negara. Disetujuinya Perjanjian Penetapan Perbatasan Indonesia – Singapura di Bagian Barat Selat Singapura. Sebagai bentuk kelanjutan dari diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dan Singapura, pada Maret 2009, perjanjian batas laut antara kedua negara ditandatangani di Jakarta. Pembicaraan tentang perjanjian ini sudah dilakukan sejak tahun 2005, untuk menyelesaikan batas wilayah Indonesia-Singapura di bagian barat Selat Singapura, antara perairan Tuas dan Nipah. Sementara untuk wilayah tengah dan timur, masih dalam tahap penyelesaian, karena memerlukan kajian yang lebih mendalam. Disetujuinya perjanjian batas laut ini, diharapkan dapat mempertegas posisi Pulau Nipah sebagai titik dasar yang digunakan dalam pengukuran batas maritim Republik Indonesia dengan Singapura.
Dalam menetapkan perjanjian ini, pemerintah Indonesia menolak mengakui wilayah reklamasi Singapura, dan menggunakan perjanjian tahun 1973 sebagai sumber. Menurut Pasal 60 Ayat 8 UNCLOS disebutkan bahwa, “pulau buatan, instalasi, dan bangunan tidak mempunyai status pulau dan laut teritorialnya sendiri, maka kehadirannya tidak memengaruhi penetapan batas laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif, dan landasan kontinen.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar